BAB I
PENDAHULUAN
Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya
dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini
makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar
Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum
juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di
wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan
pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua
dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah
perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang
pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan
kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan
atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan
kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya
kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk
masalah ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa
Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan
pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan
tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal
1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15
tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah
menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai
hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel
4ยบ 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik
pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu
itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga
menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau
tersebut berdasarkan “chain of title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa
kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat
pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti
yang kita harapkan bersama.
Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui
adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana
ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau
terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar
peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak
memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun
kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama
mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani
pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima
keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan
dan Ligitan)
Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan
maka diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim
disebut dengan Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung
barat, sabang ke ujung timur, merauke.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian dan
Sejarah singkat Wawasan Nasional ?
2. Apa Kaitan kasus Ambalat
dengan Wawasan Nasional ?
3. Bagaimana Hikmah dan
Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan
Nusantara
?
BAB III
PEMBAHASAN
Menilik semua permasalahan diatas semua
berawal dari konsep dan implementasi dari wawasan nusantara. Dalam rangka
menerapkan wawasan nusantara, kita sebaiknya terlebih dahulu mengerti dan
memahami pengertian ,ajaran dasar, hakikat ,asas, kedudukan dan fungsi serta
tujuan wawasan nusantara.
A. Pengertian dan Sejarah Singkat
Timbulnya Wawasan Nusantara
1. Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti
pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi.
Istilah wawasan berarti cara
pandang, cara tinjau, atau cara melihat.Sedangkan istilah nusantara berasal
dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati diapit di
antara dua hal.
Secara unum wawasan nasional berarti
cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari
dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi
negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai arti cara
pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan
pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang
menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
B. Kaitan Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan
wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk
menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman,
hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang
berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya
mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti
hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun,
Indonesia-Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat.
Adapun latar belakang yang
memunculkan masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di
Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut
Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia,
petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan
Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut
Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan
minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing.
Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas
3,3 triliun kaki kubik.
Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia
tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di Indonesia. klaim
tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan
secara sepihak oleh Malaysia. dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan
Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena
mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,".Protes terhadap peta itu
sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala. Indonesia
sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia
di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara
lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty.
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah
perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan
Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil.
Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok"
Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis
batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim.
Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia
yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan
Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana
Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang
berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia.
Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari
garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan
Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai
tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari mulai
demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan
perang terbuka.
Tindakan pemerintah
Malaysia yang mengklaim blok perairan Ambalat sebagai wilayah teritorial
negaranya telah memicu sikap dan tindakan "reaksi" dari berbagai
komponen masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap
mengikrarkan diri sebagai korps sukarelawan apabila konflik klaim wilayah
perairan Ambalat termanifestasi menjadi perang terbuka. Perasaan sakit hati
masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi
kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai kebijakan pemerintah
Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan martabat bangsa lain
(khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia lebih
banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia
sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau
Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun
2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus
Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan diplomatik antara
Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia kasus
klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh
dalam sengketa politik tersebut.
Ada beberapa sikap
masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama,
sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh
kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit
hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini
ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia".
Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat
sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan
sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap
ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan
kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim
teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia.
Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan
Oleh berbagai komponen
gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan
harga diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik
neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang
terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut
dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya
merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang
terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi
sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara
perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak
dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL
(Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah
Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,
yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat
politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan
"pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk
memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat.
Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan
kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik
intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik
melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan
kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak
akhir kekuasaan Orde Baru.
Sikap masyarakat
Indonesia sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan
masih belum hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia tidak pernah
berniat baik dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan negara
tetangga. Sikap arogansi Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya peta
wilayah buatan Malaysia tahun 1979 secara sepihak dan dengan gampangnya
memasukkan wilayah negara lain sebagai wilayahnya, seperti wilayah Indonesia,
China, Filipina, Thailand, Vietnam, serta Inggris yang mengatasnamakan Brunei
Darussalam.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara yang
wilayahnya diklaim oleh Malaysia melakukan protes keras. Ironisnya, hingga saat
ini pihak Malaysia belum menuntaskan masalah ini secara penuh. Padahal, klaim
suatu wilayah secara sepihak tidak dibenarkan oleh ketentuan internasional
sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982).
Dengan kata lain, apabila suatu wilayah negara
pantai berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) dengan negara lain,
maka negara tersebut harus melakukan perundingan untuk mencapai persetujuan.
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keputusan Mahkamah Internasional 18
Desember 1951 dalam kasus perikanan atau yang dikenal dengan Anglo norwegian
fisheries case antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus itu disebutkan, bahwa
delimitasi batas wilayah laut tidak hanya bergantung pada kehendak sepihak satu
negara pantai saja yang dituangkan dalam undang-undang nasionalnya, melainkan
keabsahannya delimitasi batas wilayah laut harus didasarkan pada hukum
internasional.
Sementara itu yang patut diingat dalam
menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di samping show of force militer,
Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu secara diplomatik agar
tidak kembali menelan kekalahan seperti dalam persidangan kasus sengketa Pulau
Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan wilayah kita yang disatukan oleh lautan
kembali terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi?
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh
pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang
sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim
kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan
Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di
samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan,
kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya
negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah
laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan,
sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan dengan
prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni
anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia.
Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel
komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di
Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang
berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk
negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat,
negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer,
seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara itu jauh sebelum bergabungnya
Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas
kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13
Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia
yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas
laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime
Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang
sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial
Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau
Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan
melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian
diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi
negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam
Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini
memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah
Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas
negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu
kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan
Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai
satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang,
mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah
satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base
line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai
negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal
lurus kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas
wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil
wilayah perairan Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia merupakan negara kepulauan
sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS
1982 terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas seluruhnya
dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud
dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling
bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam
pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik
geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai
demikian (Pasal 47). Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan
garis pangkal lurus kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai negara
kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada
konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan
alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar
dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal.
Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara
kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas
pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di
Lautan Sulawesi.
C.
Hikmah dan Solusi Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi
Wawasan Nusantara
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya
akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan
Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari
masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH,
1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan(Archipelagic
States) Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun
1985.
Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam
perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut
sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Kondisi
tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia, karena berarti
Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau
pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH
1982 tentang Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara kepulauan"
Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak deklarasi Juanda
1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila perlu
dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi
Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan tamparan nyata terhadap
kedaulatan teritorial "negara kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut
tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara
"faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik
Indonesia.
Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah
Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk
geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari
17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan
amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia
berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar
3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en
Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939) Pasal 1 ayat 1 tidak
sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik
Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau
serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang
bulat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal
13 Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan
mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang
di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi
pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan mempertahankannya
hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Deklarasi Juanda 1957 mendapat tantangan dari
negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu seperti Amerika
Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan menyatakan tidak
mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang mendukung
pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik
Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan,
khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara kepulauan ini
dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented)yang
mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi
kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national
security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan
kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos
pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya
sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem
peringatan dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan,
Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan
orientasi ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah
perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk
mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut
Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai
alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus
Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN,
karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura,
Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia
takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan bilateral menemui jalan
buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia
termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah
bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan
Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint development dengan
melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Model joint
development banyak mendapat pujian dari dunia dan konsep ini akhirnya
ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan,
kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita
cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer
persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan
ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim
wilayah di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut
internasional. Apalagi Indonesia diperkuat oleh serentetan sejarah yang
mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan
Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh oleh Pemerintah
Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB
untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi
yang kuat dan terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari
yang kita cintai.
Persengketaan atas wilayah Ambalat
membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun
apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar
Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami
kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat
diselesaikan secara damai.
Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan,
ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita
telah jauh dari konsep wawasan nasional yang merupakan landasan visional bangsa
dan Negara Indonesia.
Berkaitan dengan masalah perbatasan ini
kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik
kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia
perlu memiliki kesadaran untuk:
1. Mengerti,
memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga
Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air
berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2. Mengerti,
memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara
memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara
memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat
setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang
berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar
dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan
utuh yang berlandaskan kebhinekaan.
BAB IV
KESIMPULAN
Suatu
bangsa yang telah mendirikan suatu negara, dalam menyelenggarakan
kehidupannya Negara Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan timbal
balik antara filosofis bangsa kita,
ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi sosial masyarakat, budaya,
tradisi, keadaan alam, wilayah serta pengalaman sejarahbangsa Indonesia .Pemerintah dan rakyat
memerlukan suatu konsep berupa wawasan nusantarauntuk
menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin
kelangsungan hidup Negara kesatuan
republic Indonesia , keutuhan wilayah serta jati diri bangsaIndonesia. Kehidupan suatu bangsa dan negara
senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis. Karena itu,
wawasan itu harus mampu memberi inspirasi bangsa Indonesiadalam menghadapi berbagai hambatan dan
tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dan dalam mengejar
kejayaannya
Negara Indonesia adalah
negara yang solid terdiri dari berbagai suku dan bangsa, terdiri dari banyak
pulau-pulau dan lautan yang luas. Jika kita sebagai warga negara ingin
mempertahankan daerah kita dari ganguan bangsa/negara lain, maka kita harus
memperkuat ketahanan nasional kita. Ketahanan nasional adalah cara paling
ampuh, karena mencakup banyak landasan seperti : Pancasila sebagai landasan
ideal, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan Wawasan Nusantara sebagai
landasan visional, jadi dengan demikian katahanan nasional kita sangat solid.
Daftar Pastaka
0 komentar:
Posting Komentar